Close Menu
MedpolindoMedpolindo
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Facebook X (Twitter) Instagram
    MedpolindoMedpolindo
    Login
    • Nasional
    • MPR
    • DPR
    • DPD
    • Daerah
    • Peristiwa
    • Polhukam
    • Dunia
    MedpolindoMedpolindo
    • DPR
    • MPR
    • DPD
    • Disclaimer
    • Privacy Policy
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    Beranda » Agun Gunandjar: Putusan MK Bukan Hukum Tertinggi, Konstitusi Harus Jadi Rujukan Revisi UU Pemilu
    MPR

    Agun Gunandjar: Putusan MK Bukan Hukum Tertinggi, Konstitusi Harus Jadi Rujukan Revisi UU Pemilu

    redaksiBy redaksi7 Agustus 202503 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest Copy Link LinkedIn Tumblr Email Telegram WhatsApp
    Bagikan
    Facebook Twitter LinkedIn Copy Link

    Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah harus dihormati, namun tidak perlu disikapi secara berlebihan. Ia menilai konstitusi tetap menjadi hukum tertinggi yang harus menjadi rujukan utama dalam pembentukan undang-undang pemilu.

    “Putusan MK bukanlah hukum yang paling tinggi. Yang supreme itu konstitusi, bukan lembaganya. Jadi jangan menganggap MK itu super body. Tidak ada lembaga negara yang bersifat suprem dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Agun dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia bertajuk “Menata Ulang Demokrasi: Implikasi Putusan MK dalam Revisi UU Pemilu”, yang digelar di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (6/8/2025).

    Diskusi tersebut merupakan kerja sama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI bersama Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP), serta dihadiri puluhan jurnalis dari berbagai media nasional.

    Agun menambahkan, DPR dan pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menyusun dan merumuskan kembali undang-undang pemilu. Ia mendorong agar revisi UU Pemilu mengacu secara ketat pada UUD 1945, termasuk memperhatikan banyaknya putusan MK terdahulu mengenai kepemiluan.

    “Ini momentum bagi DPR dan pemerintah untuk menyusun UU Pemilu yang lebih utuh, dengan dasar utama konstitusi. Prinsip NKRI sebagai negara kesatuan dan pemerintahan presidensial harus menjadi acuan utama. Pemilu harus diarahkan untuk memperkuat sistem presidensial dan memperkuat kedaulatan rakyat,” ujarnya.

    Agun juga menyoroti pentingnya membedakan mekanisme pemilu nasional dan daerah berdasarkan amanat pasal-pasal dalam UUD, yakni Pasal 22E dan Pasal 18. Menurutnya, pemilihan kepala daerah memang seharusnya tidak disamakan dengan pemilu legislatif karena adanya nilai-nilai lokal (local wisdom) dan dinamika sosial yang berbeda-beda di tiap daerah.

    Kritik terhadap MK

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI), Abdul Hakim MS, mengkritisi kecenderungan MK yang menurutnya telah menjalankan fungsi judicial activism, bukan sekadar_ judicial restraint_. Ia menilai, MK telah memasuki wilayah pembentuk norma, yang seharusnya menjadi ranah legislatif.

    “Putusan MK bersifat final dan mengikat, tapi tidak punya challenger. Ketika sembilan hakim MK memutus suatu perkara, siapa yang bisa membanding atau menyeimbanginya? Tidak ada,” ujar Abdul Hakim.

    Menurutnya, keputusan MK untuk memisahkan pemilu nasional dan daerah memiliki konsekuensi besar dan tidak bisa diputus secara sepihak, apalagi tanpa diskusi yang cukup dengan pemangku kepentingan seperti KPU, Bawaslu, DPR, maupun masyarakat sipil.

    “Ini keputusan yang berdampak pada ratusan juta rakyat Indonesia. Apakah MK sudah berdialog dengan KPU atau Bawaslu sebelum memutus? Belum. Tapi konsekuensinya luar biasa. Bahkan bisa menabrak empat undang-undang yang sudah ada,” ujarnya.

    Abdul Hakim juga menilai keputusan MK terkait pemilu ini bisa menggeser masa jabatan DPRD dari lima tahun menjadi tujuh tahun jika tidak dikawal hati-hati, karena adanya pergeseran jadwal pemilu nasional dan daerah. Ia pun mendorong agar diskursus mengenai MK sebagai lembaga super body segera dikaji ulang.

    “Sudah saatnya ada pembanding bagi MK. Kalau ada pelanggaran etik, hakim MK diadili oleh siapa? MK sendiri. Anggotanya dipilih sendiri. Ini tidak sehat bagi sistem demokrasi kita,” pungkasnya.

    Indonesia MPR RI
    Share. Facebook Twitter Copy Link

    Berita Terkait

    Komisi VII Dorong Skema Royalti Lagu Diatur Ulang

    7 Agustus 2025

    Roblox Disorot, Syamsu Rizal: Komdigi Harus Tindak Tegas Gim Mengandung Kekerasan

    7 Agustus 2025
    Add A Comment

    Comments are closed.

    BERITA TERKINI

    Komisi VII Dorong Skema Royalti Lagu Diatur Ulang

    7 Agustus 20250

    Roblox Disorot, Syamsu Rizal: Komdigi Harus Tindak Tegas Gim Mengandung Kekerasan

    7 Agustus 20250

    Apresiasi Tiga Kado Presiden di HUT RI, Komisi X: Komitmen Nyata bagi Kesejahteraan Guru

    7 Agustus 20250

    Lestari Moerdijat: Kehadiran Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat Harus Menjadi Kepedulian Bersama

    7 Agustus 20250

    Legislator: Berbeda dengan Bintang Kejora, Bendera One Piece Tidak Punya Dimensi Ideologis

    6 Agustus 20250
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    • Redaksi
    • Privacy Policy
    • Disclaimer
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    © 2025 Medpolindo. Designed by Aco.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Sign In or Register

    Welcome Back!

    Login to your account below.

    Lost password?