Close Menu
MedpolindoMedpolindo
    Facebook X (Twitter) Instagram
    Facebook X (Twitter) Instagram
    MedpolindoMedpolindo
    Login
    • Nasional
    • MPR
    • DPR
    • DPD
    • Daerah
    • Peristiwa
    • Polhukam
    • Dunia
    MedpolindoMedpolindo
    • DPR
    • MPR
    • DPD
    • Disclaimer
    • Privacy Policy
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    Beranda » Komite I DPD RI: Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Belum Capai Sasaran Dan Tujuan
    DPD

    Komite I DPD RI: Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Belum Capai Sasaran Dan Tujuan

    redaksiBy redaksi4 Maret 202523 Mins Read
    Share Facebook Twitter Pinterest Copy Link LinkedIn Tumblr Email Telegram WhatsApp
    Bagikan
    Facebook Twitter LinkedIn Copy Link

    Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia menilai bahwa implementasi kebijakan otonomi daerah belum mampu mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan. Hal itu terungkap pada rapat dengar pendapat Komite I saat membahas isu-isu terkait Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI).

    Komite I DPD RI melihat bahwa isu-isu tentang pemerintahan daerah merupakan permasalahan aktual dan krusial di Indonesia. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) memiliki paradigma otonomi daerah sebagai pembagian urusan pemerintahan, dengan mempertimbangkan prinsip keseimbangan (insearch of equilibrium) urusan pemerintahan.

    “Tanpa kewenangan yang dipegang daerah, maka daerah menganggap otonomi daerah telah kehilangan ruhnya,” ucap Ketua Komite I DPD RI Andy Sofyan Hasdam, didampingi Wakil Ketua Komite I Bahar Buasan (Babel), Muhdi (Jawa Tengah), di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (04/03/2025).

    Andy Sofyan menambahkan, dalam implementasi UU Pemda tersebut, kembali terulang masalah klasik yaitu undang-undang sektoralnya sendiri tidak disesuaikan dengan UU Pemda dan adanya resistensi dari pihak pemda kabupaten/kota, sehingga menimbulkan ketidakpastian, bahkan kemandegan dalam penanganan urusan pemerintahan.

    “Alhasil, pelayanan publik dan peningkatan “local welfare” jelang sepuluh tahun usia UU Pemda hingga kini masih jauh dari harapan,” ungkap Andy.

    UU Cipta Kerja misalnya (yaitu UU No.11 Tahun 2020 yang kemudian diganti dengan UU No. 6 Tahun 2023), terdapat 12 (dua belas) terkait perizinan yang ditarik oleh pemerintah pusat sehingga mendistorsi kewenangan pemda diantaranya kewajiban kepala daerah dalam pemberian pelayanan perizinan berusaha, antara lain persetujuan kesesuaian tata ruang, izin pemanfaatan ruang laut, izin usaha hortikultura, izin pelayanan kesehatan hewan, izin tenaga kesehatan hewan, izin bidang kehutanan, izin usaha panas bumi, izin usaha industri, kawasan industri, izin usaha gudang, izin usaha perdagangan, dan izin bengkel.

    “Selain itu, tidak ada satupun kementerian/lembaga yang menyesuaikan undang-undang sektoralnya dengan UU Pemda No.23 Tahun 2014 tersebut,” jelasnya.

    Sementara itu, Ketua Umum APKASI Mochamad Nur Arifin, mengutarakan bagaimana daerah bisa mandiri jika dalam tata kelola daerah ditarik pusat, karena menurutnya pusat pasti hanya memilih yang strategis dan prioritas. Arifin mengutarakan daerah jangan disamakan dengan pusat, terkait otonomi lebih ke distribusi otoritas, dan sejauh mana pusat yakin bisa memakmurkan seluruh rakyatnya.

    “Jika semua bisa dilakukan pusat termasuk transfer DAU dan DAK berarti tidak perlu distribusi otoritas ke kabupaten/kota, karena bagaimana daerah bisa mandiri karena pusat pasti memilih yang strategis dan prioritas, sehingga tidak terjadi pemerataan,” tuturnya.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif/Sekretaris Dewan Pengurus APEKSI, Alwis Rustam, terkait pelaksanaan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda tetap menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, namun berbagai tantangan masih muncul dalam implementasinya. Persoalan hukum terkait pembagian urusan pemerintahan, tarik-menarik kewenangan pusat-daerah, pemenuhan layanan publik, penyerapan APBD, dan kemandirian daerah menjadi isu krusial yang perlu dibahas.

    “Harus reviu ulang kewenangan untuk mengatasi tumpang-tindih regulasi yang tidak lagi relevan dengan UU No. 23/2014,” ucap Alwis.

    Selain itu, persoalan moratorium pemekaran daerah yang hingga kini masih belum dicabut pemerintah dirasa telah menghambat pergerakan daerah-daerah yang sudah siap dan memenuhi syarat memekarkan diri. Berbagai alasan dikemukakan oleh pemerintah dari mulai belum dapat diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang Desain Besar Penataan Daerah hingga masalah ketersediaan anggaran.

    “Padahal, sampai saat ini tidak kurang dari 186 usulan pemekaran daerah telah masuk ke DPD RI, hal ini perlu perhatian pemerintah,” tandas Ketua Komite I DPD RI.

    DPD RI DPR RI Indonesia
    Share. Facebook Twitter Copy Link

    Berita Terkait

    Tiga Catatan Darmadi untuk Kemenkop: Roadmap Kabur, Tugas Tak Jelas, Eksekusi Telat

    10 Juli 2025

    Mardani Dorong Pemprov Jakarta dan Pusat Kolaborasi Tangani Banjir Jakarta

    10 Juli 2025
    Add A Comment

    Comments are closed.

    BERITA TERKINI

    Tiga Catatan Darmadi untuk Kemenkop: Roadmap Kabur, Tugas Tak Jelas, Eksekusi Telat

    10 Juli 20250

    Mardani Dorong Pemprov Jakarta dan Pusat Kolaborasi Tangani Banjir Jakarta

    10 Juli 20250

    Forum Bakohumas Tekankan Partisipasi Publik Bermakna dalam Proses Legislasi

    10 Juli 20250

    Warga 3T Tak Rasakan Nilai Pancasila, Negara Harus Hadir Lewat Layanan Dasar

    9 Juli 20250

    KUHAP Lama Berusia 44 Tahun, DPR Targetkan Revisi untuk Peradilan yang Adil

    9 Juli 20250
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest
    • Redaksi
    • Privacy Policy
    • Disclaimer
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    © 2025 Medpolindo. Designed by Aco.

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

    Sign In or Register

    Welcome Back!

    Login to your account below.

    Lost password?